Upacara Adat Maluku yang Miliki Nilai Budaya Tinggi

Upacara Adat Maluku yang Miliki Nilai Budaya Tinggi

Maluku memanglah memiliki budaya yang sangat tinggi. Banyak sekali kehidupan sosial budayanya yang menjadi panutan dalam banyak hal. Salah satu yang dijunjung tinggi di Maluku adalah sistem kekerabatannya yang erat dan solid. Hal ini juga tercermin pada upacara adat Maluku yang miliki berbagai nilai.

Ada banyak upacara adat yang masih dijalankan di Maluku hingga saat ini. Dengan kekayaan budaya inilah yang membuat solidaritas antar masyarkatnya menjadi tinggi. Dalam berbagai berita Maluku, upacara adat ini bahkan ada pula yang dijadikan sebagai wahana wisata lho.

Dengan daya tarik inilah bisa membuat nilai pariwisatanya naik tanpa mengesampingkan budaya setempat dan nilai-nilai sakral di dalamnya. Upacara adat apa saja yang masih dilakukan di Maluku?

Upacara Adat Maluku – Obor Pattimura sebagai Peringatan Hari Pattimura

Tanggal 15 Mei adalah hari pahlawan Thomas Pattimura dari Maluku melawan dan mengusir penjajah dari Tanah Maluku. Oleh karena itu, pada hari itu dinamakan Hari Pattimura yang diperingati pada tanggal 15 Mei setiap tahunnya.

Dalam perayaannya, pemerintah Maluku biasanya mengadakan parade adat dan etnis bersama warga sekitar untuk memperingati Hari Pattimura sebagai tokoh yang heroik.

Ada sebuah prosesi yang paling terkenal dan ditunggu dalam acara ini. Prosesi tersebut adalah adalah lari obor yang melintasi lautan dari Pulau Saparua ke Pulau Ambon, setelah tiba, obornya akan diarak sepanjang 25 kilometer menuju pusat Kota Ambon.

Parade dimulai dengan pembakaran obor alami di puncak Gunung Saniri di Pulau Saparua. Gunung Saniri sendiri merupakan salah satu situs sejarah perjuangan Pattimura. Karena di sanalah perjuangan antara Malukus dan penjajah Belanda dimulai pada tahun 1817.

Dalam kepercayaan Maluku, Gunung Saniri dipercaya sebagai tempat para raja dan tokoh masyarakat Latupati atau Saparua berkumpul dan mengadakan pertemuan Saniri untuk menyusun strategi penyerangan ke Benteng Dusit pada masa penjajahan.

Dari situ disepakati untuk mengangkat Thomas Matulessy dari desa Haria sebagai Capitan atau panglima perang untuk berperang. Di situlah ia mendapat gelar Pattimura.

Penyerangan rakyat Maluku pada masa lalu kepada pihak kolonial ini dilakukan mulai dari Benteng Dusrtede melewati Pantai Waisisil. Masyarakat pada masa itu dapat dikatakan berhasil karena bisa mengalahkan mereka. Mereka tidak menyisakan satupun serdadu tentara Belanda, termasuk Residen Belanda Van de Berk dan keluarganya.

Mereka semua terbunuh, dan hanya putra Van der Bock yang masih hidup ketika dia baru berusia lima tahun dan tidak punya siapa-siapa. Dia diselamatkan oleh Pattimura dan dikembalikan ke pemerintah Belanda di Ambon.

Sejak kejadian ini, api perjuangan terus berkobar. Pattimura berhasil mengalahkan Benteng Durstede, yang menyebabkan masyarakat Maluku memberontak melawan Belanda. Perang tidak bisa dihindari di hampir semua wilayah Maluku

Namun dalam perjalanannya, Kapitan Pattimura dan rekan-rekannya ditangkap Belanda karena taktik liciknya. Mereka kemudian dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Belanda pada masa itu.

Baca juga: Mengenal Esai dan Fungsinya Berdasarkan Ciri, Struktur, dan Jenisnya

Tradisi Masa Kehamilan Suku Nuaulu yang Unik

Suku Nauru adalah suku asli yang menjalankan tradisi adat hingga sekarang. Suku Nauru (disebut juga Nualu atau Nuaru) tinggal di bagian tengah selatan Pulau Seram di Provinsi Maluku.

Ciri utama dari suku Nauru adalah ikat kepala berwarna merah yang dikenakan oleh pria dewasa. Pada umumnya masyarakat Nauru mempertahankan kepercayaan tradisional yang diturunkan dari nenek moyang mereka.

Masyarakat Suku Nauru memiliki adat budaya dan upacara yang aneh. Upacara ini adalah pengasingan wanita hamil.

Upacara ini menjadi salah satu tradisi masyarakat Nauru yang hidup di pedalaman Pulau Seram di Pulau Maluku. Tradisi mereka adalah mengisolasi wanita hamil di gubuk yang disiapkan khusus agar mereka jauh dari rumah.

Orang Nauru memberi nama gubuk-gubuk ini dengan istilah tikusune, dan itu adalah tempat pengasingan wanita hamil. Nyatanya, tak hanya ibu hamil, ibu yang sedang haid juga diisolasi di dalam gubuk.

Perempuan yang sedang hamil ini akan diantarkan oleh keluarga menuju gubuk tikusune. Gubuk ini memang sengaja disediakan untuk menjalani upacara yang dikatakan berbeda ini. Upacara ini sudah lama bercokol di lingkungan masyarakat Suku Nauru.

Perempuan hamil  atau haid ini akan ditinggal sendirian dan tidak ditemani. Saat persalinan, ibu hamil akan ditolong oleh dukun bayi yang berpengalaman menangani persalinan di perut ibu.

Setelah masa persalinan, ibu dan bayi akan mandi sebelum pulang. Keluarga yang disambut di rumah juga harus berpuasa seharian penuh sebelum bayi bisa dipulangkan.

Bahkan di dalam resepsi penyambutan ini, keluarga akan mengadakan jamuan makan atau makan bersama kerabat dan tetangga.

Tradisi seperti ini sudah terikat sejak lama dan harus dilaksanakan. Jika seseorang melanggar tradisi ini, perempuan akan didenda karena menggunakan piring dan kain bekas.

Wah dua upacara tadi memiliki kisah dan filosofi yang berbeda ya. Meskipun berbeda, justru hal inilah yang membuat budaya di Maluku menjadi kaya akan adat istiadat.